Ns. Supriadi, M.Kep
(Dosen Keperawatan Medikal Bedah STIKes Hamzar)
Virus corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan dan penyakitnya disebut Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Penyebaran virus corona atau penyakit COVID-19 menjadi masalah serius di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Proses penularan yang cepat hingga tingginya angka kematian menjadi salah satu penyebabnya. Awal tahun 2020, COVID-19 menjadi masalah kesehatan dunia dan pada tanggal 2 Maret 2020 Indonesia telah melaporkan 2 kasus konfirmasi COVID-19. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.
Semakin tidak terkendalinya penyakit ini, menimbulkan kepanikan di masyarakat, sehingga istilah-istilah dan bahayanya sering didengar oleh masyarakat melalui media elektronik (televisi, media sosial) maupun yang disampaikan oleh petugas kesehatan menjadi perbincangan hangat dan membuat kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Semoga dengan adanya tulisan ini bisa menambah pemahaman bagi masyarakat
Dalam penyakit COVID-19, ada istilah-istilah dan bahaya yang harus dipahami oleh masyarakat agar bisa mengambil langkah dalam pencegahan dan menghindari stigma terhadap orang disekelilingnya. Istilah tersebut ada yang disebut dengan “Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Konfirmasi, Komorbiditas. Dibawah ini akan dibahas masing-masing dari istilah tersebut:
ISTLAH-ISTILAH DALAM COVID-19
Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
- Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38°C) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal;
- Orang dengan demam (≥38ºC) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel COVID-19;
- Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
Orang Dalam Pemantauan (ODP)
- Orang yang mengalami demam (≥38ºC) atau riwayat demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal;
- Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel COVID-19.
Orang Tanpa Gejala (OTG)
Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19.
Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan, probabel atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Kontak erat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) Kontak erat risiko rendah: bila kontak dengan kasus pasien dalam pengawasan, (2) Kontak erat risiko tinggi: bila kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel.
Yang termasuk dengan kontak erat adalah:
- Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.
- Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
- Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
Konfirmasi
Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui pemeriksaan PCR.
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus. Pemeriksaan dilakukan dengan pengambilan sampel dahak, lendir, atau cairan dari nasofaring (bagian antara hidung dan tenggorokan), orofaring (bagian antara mulut dan tenggorokan), atau paru-paru pasien yang diduga terinfeksi virus Corona. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan metode swab test .
Komorbiditas
Penyakit penyerta (komorbid) yang menggambarkan kondisi bahwa ada penyakit lain yang dialami selain dari penyakit utamanya (misal, penyakit diabetes, hipertensi, kanker).
BAHAYA YANG DI TIMBULKAN COVID-19
Penularannya Sangat Cepat (Belum Ada Vaksin dan Obat)
Virus Corona merupakan virus yang ditularkan antara hewan dan manusia, akan tetapi berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet), tidak melalui udara. Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien tersebut.
Penyakit ini mudah sekali menular dan dapat menginfeksi siapa saja (tidak memandang usia maupun jenis kelamin), efeknya akan lebih berbahaya bila terjadi pada orang dengan lanjut usia, ibu hamil, orang yang memiliki penyakit tertentu, perokok, atau orang yang daya tahan tubuhnya lemah, misalnya pada penderita kanker. Sampai dengan detik ini, belum ada vaksin untuk mencegah infeksi virus Corona dan obat-obatan untuk mengatasi COVID-19. Penyakit ini juga ada yang menunjukkan tanda dan gejala dan yang lebih berbahaya lagi dikarenakan tidak semua orang menunjukkan tanda dan gejala tersebut atau biasa disebut dengan orang tanpa gejala (OTG), orang tersebut tetap bisa menularkan virusnya kepada orang lain. Orang tanpa gejala namun bisa menularkan inilah yang disebut dengan silent spreader. Oleh sebab itu, pencegahan adalah cara terbaik untuk mengatasinya.
Dapat Menyebabkan Komplikasi dan Kematian
Dampak bahaya komplikasi yang ditimbulkan pada kasus COVID-19 adalah dari yang ringan sampai dengan yang berat, seperti gangguan pada saluran pernafasan adalah pneumonia (peradangan pada paru-paru), sindrom pernapasan akut, komplikasi pada organ lain, seperti kerusakan hati, kerusakan jantung, gagal ginjal, dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Pada tanggal 16 Mei 2020, dilaporkan total kasus konfirmasi (yang terinfeksi COVID-19) 4.425.485 dengan 302.059 Kematian (CFR 6,8%) dimana kasus dilaporkan di 215 negara, sedangkan di Indonesia melaporkan kasus konfirmasi COVID-19 sebanyak 17.025 kasus, Sembuh 3.911, dan yang Meninggal (Positif COVID-19) : 1.089 (CFR 6,4%). Dari kasus tersebut, sudah termasuk petugas kesehatan yang dilaporkan terinfeksi dan meninggal dunia.
Dampak Sosial (Stigma Negatif) di Masyarakat
Stigma adalah berbagai pandangan atau penilaian terhadap seseorang secara negatif. Stigma tidak hanya memberikan penilaian negatif terhadap orang lain, berdampak juga terhadap imunitas seseorang yang terpapar COVID-19, memperburuk status kesehatan dan berpengaruh dalam proses penyembuhan. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan untuk menghilangkan stigma dengan tidak mendiskriminasi dan mengucilkan orang-orang yang terpapar COVID-19 dan tenaga kesehatan ketika harus melakukan isolasi mandiri di rumah. Dampak sosial yang disematkan oleh masyarakat berupa “stigma” terhadap orang yang terpapar COVID-19 dan tenaga kesehatan, berkontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat virus corona. Stigma di masyarakat dapat ditekan dengan cara penyampaian informasi dengan tepat yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Dampak lain yang juga terjadi ditengah-tengah masyarakat adalah terjadi penolakan yang dilakukan oleh warga terhadap Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) serta keluarganya dan bahkan tenaga medis yang bertugas menangani COVID-19. kepanikan dan kekhawatiran ditengah masyarakat ini memunculkan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap klien COVID-19 dan para petugas kesehatan. Penolakan tidak hanya bagi orang yang masih dalam perawatan, akan tetapi terjadi terhadap jenazah yang positif COVID-19. Adapun alasan penolakannya adalah karena masyarakat takut jika nantinya menular melalui orang tersebut.
Dari berbagai penolakan yang dilakukan, masyarakat yang memiliki tanda dan gejala (ODP dan PDP) bahkan yang positif COVID-19 menjadi tidak jujur kepada tenaga kesehatan saat datang ke fasilitas kesehatan, tidak mau memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan, sehingga penularan akan semakin luas dan petugas kesehatan tidak bisa mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penyebaran virus tersebut.
Jika masyarakat memberikan stigma yang negatif, kondisi kesehatan seseorang semakin terpuruk karena merasa dikucilkan. Adapaun pengalaman klien yang dinyatakan positif COVID-19, setiap harinya berupaya menciptakan suasana nyaman dan pemikiran yang positif untuk meningkatkan daya imunnya. Ketika kondisi klien dalam keadaan baik dan senang, maka imun dalam diri klien akan terbentuk sehingga proses pemulihan bisa lebih cepat.
Menurut World Health Organization (WHO) stigmatisasi pada klien yang mengalami penyakit tertentu menimbulkan berbagai dampak negatif pada klien, diantaranya isolasi sosial, kehilangan akses hidup dan tinggal, bahkan sampai depresi. Dampak tersebut akan menghambat penyembuhan klien dan bukan tidak mungkin hal ini juga dapat terjadi pada klien COVID-19 yang menerima stigmatisasi dan perilaku diskriminasi. WHO juga mengatakan stigma lebih berbahaya dari virus itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan untuk tidak memberikan stigma negatif kepada klien COVID-19.
Penyakit ini memang berbahaya, akan tetapi dapat disembuhkan. Berdasarkan pengalaman klien diatas yang dinyatakan sembuh, mengingatkan kita sebagai masyarakat agar tidak memberikan stigma terhadap klien COVID-19 yang dinyatakan sembuh, sebaliknya mendapatkan dukungan moril dari masyarakat sehingga kondisi kesehatannya seperti sebelumnya.