“Sadarkah Kita Mungkin Kita Juga Termasuk Korban?”
Oleh : Fibrianti, SST. M. Kes
Kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling kejam yang dialami oleh seorang perempuan. Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahata terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Fenomena kekarasan terhadap perempuan bukan hanya menjadi persoalan nasional tetapi juga telah menjadi kecemasan bagi setiap negara di seluruh dunia. Kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan oleh siapapun, bahkan pelakunya adalah orang terdekat sepert ayah, suami, saudara laki-laki dan bahkan perempuan terhadap perempuan lainnya. Selain itu kekerasan seksual juga dapat terjadi di manapun baik di tempat kerja/kantor, di tempat umum, maupun di dalam rumah tangga.
Sebuah pesan menarik yang ditulis oleh seorang kaisar filsuf Romawi yaitu Marcus Aurelius dia menulis bahwa “sukacita yang sesungguhnya bagi manusia adalah saling berperilaku ramah terhadap orang lain, sehingga antara manusia yang satu dengan yang lain saling mendapatkan kemurahan hati.” Apa yang disampaikan di atas sangat menarik untuk dijadikan rujukan dalam pembahasan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan. Karena saat ini kekerasan merupakan manifestasi perilaku emosional manusia kepada manusia lainnya, daripada perilaku rasional manusia tersebut. Alasannya, karena di mana-mana banyak ditemukan berbagai kasus tindak kekerasan yang korbannya adalah perempuan. Permasalahannya sadarkah kita bahwa sebagai seorang perempuan kita juga merupakan korban tindak kekerasan tersebut?
Pada hari jumat tanggal 6 Maret tahun 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan catatan tahunan (CATAHU), berdasarkan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan, maupun yang dilaporkan ke Komnas. Berdasarkan data pada CATAHU 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.
Selain itu berdasarkan data-data yang sudah terkumpul, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP (ranah personal) yaitu sebanyak 75% (11.105 kasus). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan fisik sebanyak 4.783 kasus (43%), menempati peringkat pertama kemudian posisi kedua yaitu kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), psikis sebanyak 2.056 kasus (19%) dan ekonomi sebanyak 1.459 kasus (13%).
“Dari tahun ke tahun selama kurun waktu 12 tahun angka kekerasan terhadap perempuan terus mengalami peningkatan, di Indonesia peningkatannya sebanyak 792 persen,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan yaitu Mariana Amiruddin. Angka kasus kekerasan tersebut seperti fenomena gunung es, hal ini disebabkan untuk mengetahui jumlah kasus kekerasan yang dialami perempuan hanya berdasarkan data laporan dari masyarakat, sebenarnya masih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan dengan alasan perasaan malu dari korban, takut dikucilkan masyarakat apabila kasusnya diketahui oleh orang lain, selain itu alasan mereka tidak melapor adalah karena ada hubungan pribadi antara pelaku dengan korban kekerasan seperti hubungan keluarga, suami, teman maupun pacar.
Kekerasan yang dialami oleh seorang perempuan pada dasarnya terjadi karena adanya budaya patriarki yang masih berlaku di masyarakat, dampak dari adanya sistem patriarki ini adalah timbulnya laki laki sebagai pihak yang diutamakan atau superior, sebaliknya seorang perempuan menjadi pihak yang tersubordinasikan atau yang dilemahkan. Dalam interaksinya dengan laki laki, seorang perempuan kerap mengalami berbagai bentuk kekerasan. Yang terjadi di masyarakat saat ini adalah mereka mempersepsikan bahwa yang dinamakan kekerasan terhadap perempuan adalah dalam bentuk kekerasan fisik, seperti dipukul, ditendang ataupun ditampar. Mereka tidak menyadari bahwa kekerasan tersebut juga berupa kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.
Salah satu bentuk kekerasan yang sering dialami oleh perempuan yaitu kekerasan seksual. Pelecehan seksual adalah istilah yang paling tepat untuk memahami pengertian kekerasan seksual. Pelecehan seksual memiliki bentuk yang sangat luas, yaitu mulai dari ungkapan verbal/lisan seperti komentar, gurauan yang jorok/tidak senonoh, sedangkan perilaku tidak senonoh seperti mencolek, meraba, mengelus, memeluk dan sebagainya, selain itu mempertunjukkan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga melakukan pemerkosaan.
Menurut data statistik kejahatan seksual WHO 1993, 60-78% pelaku dari korban yang mengalami kekerasan seksual biasanya adalah orang-orang yang dikenal seperti keluarga dekat, teman dekat, pacar, saudara, bapak tiri bahkan bapak kandung, guru, tokoh agama, atasan, dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus lainnya, perkosaan juga dilakukan oleh orang-orang yang baru dikenal yang awalnya nampak sebagai orang yang baik yang memberikan sebuah bantuan, misalnya menawarkan untuk mengantarkan korban ke suatu tempat.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah ditemukan oleh komnas perempuan yaitu pemerkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan atau kehamilan tidak diinginkan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan dan kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Salah satu contoh kasus kekerasan seksual berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis pada tahun 2018 kepada seorang informan dengan inisial “N” usia 20 tahun, menikah pada awal tahun 2016 setelah lepas SMA. Pendidikan terakhir N adalah SMA. Di sekolah N merupakan siswi yang berprestasi dan selalu mendapatkan juara 1 dari SD sampai SMA, N selalu menjadi perwakilan sekolahnya untuk mengikuti kegiatan lomba baik yang diadakan oleh kecamatan ataupun kabupaten. Suami N adalah seorang pengangguran yang hanya tamatan SD, menurut N suaminya tidak pernah memberikan nafkah kepada dirinya.
Berdasarkan penuturan N, dia pernah mengalami kekerasan seksual yang awalnya hanya masalah sepele. N meminta suaminya untuk sholat, lalu suaminya marah karena merasa dipaksa untuk bangun sholat. Berdasarkan penuturan N dia sering dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, kalau N menolak suaminya akan melakukan kekerasan fisik seperti memukul, menampar bahkan menendang, “waktu itu saya dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, saya merasa seperti diperkosa, saya di cekik sambil dia melakukan hubungan seks dengan saya, dan yang paling parah, waktu itu saya hamil besar memasuki 9 bulan, saya dipaksa melayani hawa nafsunya, tetapi saya tidak mau, dia tetap mengikuti nafsunya sampai saya mengalami pembukaan, waktu itu saya sampai bukaan tiga, saya merasakan sakit yang luar biasa, sampai akhirnya saya dibawa lari ke rumah sakit, saya tidak berani memberi tahu orang tua, mereka mengira saya melahirkan biasa. Saya dirujuk ke rumah sakit. Dan syukurnya persalinannya bisa normal. Pada saat saya melahirkan, suami saya tidak hadir dan yang mengurus semuanya itu bapak saya.”
Contoh kasus lainnya seperti yang dipaparkan di sebuah artikel kompas.com yaitu Peristiwa pelecehan seksual terhadap seorang ibu berusia 38 tahun terjadi di gang perumahan di Kaliabang, Bekasi, Rabu (15/1/2020). Saat itu, ibu dengan jilbab panjang hitam dalam perjalanan pulang usai berbelanja di pasar. Ia dikuntit oleh seorang pengendara sepeda motor yang kemudian mendahuluinya, sebelum akhirnya putar arah dan meraba payudara ibu tersebut. Kejadian itu terekam CCTV dan beredar luas di media sosial. Berbekal wajah dan pelat sepeda motor pelaku, Sudirektorat Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya meringkus Denny Hendrianto (22), si pelaku pelecehan seksual.
selain dalam bentuk fisik, kekerasan seksual juga terjadi dalam bentuk verbal/lisan contoh kekerasan seksual dalam bentuk verbal yaitu bersuil, menggoda, memberikan komentar, bercanda atau menanyakan hal-hal bersifat seksual yang tidak diinginkan atau membuat lawan bicara tidak nyaman. Memberi komentar seksual yang tidak diinginkan tentang cara berpakaian, bentuk tubuh, atau gaya seseorang, sindiran atau cerita yang bersifat seksual padahal hal ini mengandung unsur yang dapat menyinggung perasaan orang lain dan membuatnya merasa tidak nyaman. Selain itu, menyebarkan atau menceritakan gosip dan cerita tentang kehidupan seksual seseorang tanpa persetujuan atau kesepakatan orang tersebut hal tersebut juga tanpa disadari merupakan bentuk pelecehan seksual.
Salah satu bentuk pelecehan seksual yang juga dianggap sebuah gurauan, yaitu catcalling. Dimana sebagian masyarakat mungkin masih asing dengan istilah tersebut. Catcalling adalah suatu bentuk tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang yang memanggil- manggil atau menggoda orang yang sedang lewat di jalanan yang mengandung unsur seksual sehingga korban menjadi tidak nyaman.
Selain masyarakat umum selebritis pun tidak lepas dari pelecehan seksual, contohnya yaitu Via Vallen yang pernah mengalami pelecehan seksual di media sosial. Penyanyi dangdut ini pernah memposting screenshot di story instagramnya yang berisi screenshot layar pesan antara ia dan seseorang yang di samarkan namanya. Orang tersebut mengirim sebuah pesan yang menyinggung perasaan Via Vallen. Isinya yaitu “I want u sign for me in my bedroom, wearing sexy clothes.” Kalimat pesan tersebut telah menyeret orang ini ke dalam kasus pelecehan seksual cyber harassment atau dunia maya.
Berdasarkan 3 kasus di atas, siapapun bisa menjadi korban pelecehan seksual, wanita berhijab, wanita seksi dan ibu rumah tangga pun banyak menjadi korban Banyak yang masih mempersepsikan bahwa penampilan perempuan dan menggunakan pakaian terbuka adalah penyebab terjadinya pemerkosaan, hal tersebut sangat tidak terbukti dan keliru, karena jutaan wanita tahu bahwa pakaian tertutup dan rok panjang tidak menjamin dapat mencegah pemerkosaan. faktanya kekerasan seksual tersebut terjadi karena ada atau tidaknya kesempatan, kelemahan dan kerentanan untuk menyerang, bukan hanya karena penampilan semata seperti bentuk tubuh atau cara berpakaian. Karena tidak ada yang berhak menyentuh bagian tubuh seorang perempuan setelanjang apapun dia atau sedekat apapun dengan pelaku.
Mengapa banyak korban pelecehan seksual tidak bercerita? Datanya ada 71% perempuan yang mengalami pelecehan seksual tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialami (Bartlett, dkk, 2014). Seorang perempuan oleh masyarakat dianggap sebagai simbol kehormatan dan kesucian, oleh karena itu kekerasan seksual yang dialami oleh korban menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan lainnya karena pelecehan seksual sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual, misalnya perkosaan. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual, merasa malu, tidak ada bukti, merasa takut akan berbagai dampak yang ditimbulkan, khawatir kejadian ini akan mempermalukan keluarga jika tersebar luas, hal tersebut membuat perempuan/korban seringkali tidak berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya, alasan lain mereka takut dikucilkan.